Selasa, 03 Desember 2013
BAB 1
PIP KELAUTAN, VISI DAN TUJUAN PEMBELAJARAN WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM (WSBM)

A.    Pendahuluan dan Pengertian PIP
Pada tahun 1975, Universitas Hasanuddin (Unhas)  menetapkan “kelautan” sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP) yang selanjutnya dikuatkan dalam rapat Senat Unhas dan dituangkan dengan Surat Keputusan Rektor No.1149/UP-UH/1975 tertanggal 27 Desember 1975. Pemilihan kelautan sebagai PIP Unhas diputuskan setelah melalui serangkaian seminar dan pertemuan ilmiah yang mendiskusikan berbagai alternative pilihan PIP, diantaranya adalah Seminar Ilmu Kelautan di Unhas pada bulan September 1974 yang dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Riset Nasional, sejumlah ahli dari Lembaga Oseonologi Nasional (LON) dan oleh sivitas akademika Unhas sendiri. Kesimpulan dari seminar ini yaitu perlunya dirintis pengembangan ilmu Kelautan di Unhas.
PIP bukanlah satu disiplin ilmu melainkan merupakan orientasi pemikiran strategis dalam pendidikan yang mencakup sejauh mungkin setiap disiplin ilmu. Dengan demikian PIP diharapkan merupakan arah pengembangan tri darma yang sekaligus akan memberikan nuansa spesifik kepada berbagai disiplin ilmu yang dikembangkan Perguruan Tinggi.
PIP sebagai arah pengembangan dan nuansa spesifik Perguruan Tinggi atau roh bagi pengembangan IPTEK dan seni di lingkungan universitas dan akan mewarnai setiap bentuk luaran, baik berupa alumni, hasil-hasil penelitian maupun pengabdian pada masyarakat yang berujung pada dimilikinya keunggulan kompetitif.

B.     Visi dan Misi Unhas
Melalui rapat kerja Unhas yang diselenggarakan  di Tana Toraja pada tanggal 17 – 20 Desember 2009 serta berdasarkan keputusan rapat Badan Pekerja Harian (BPH) Senat No.XXX,  Unhas telah menetapkan visi jangka panjang organisasi Unhas sebagai berikut: Pusat unggulan dalam pengembangan Insani, Ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya berbasis Benua Maritim Indonesia.
Rumusan visi mengandung makna adanya kebersamaan tekad seluruh sivitas akademika untuk menetapkan menempatkan Unhas sebagai entitas akademik yang tidak sebatas memfasilitasi, tetapi menstimulasi lahirnya segenap potensi, proses, dan karya terbaik dalam pengembangan insani, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya Benua Maritim Indonesia.

Misi Unhas
1.      Menyediakan lingkungan belajar yang berkualitas untuk mengembangkan kapasitas pembelajar yang adaptif-kreatif.
2.      Melestarikan (to preserve), mengembangkan , menemukan, dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya.
3.      Menerapkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya bagi kemaslahatan Benua Maritim Indonesia.

C.    Tujuan Pembelajaran Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM)
Mata Kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM) adalah salah satu komponen Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di Unhas yang mengintroduksi materi-materi kemaritiman, antara lain potensi sumber daya maritim beserta dinamikanya, nilai-nilai budaya maritim yang perlu dikembangkan dan dipromosikan yang kesemuanya mengarah pada karakteristik Benua Maritim dan pembangunannya.

D.    Keterkaitan PIP, Visi dan Mata Kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim
Peserta didik (Mahasiswa) dituntut memiliki wawasan tentang apa yang menjadi PIP Perguruan Tingginya.  Olehnya itu, karena kelautan adalah PIP Unhas, maka mahasiswa Unhas dituntut memiliki kemampuan dan komitmen yang tinggi terhadap pengembangan budaya maritim serta sanggup memberikan nuansa kemaritiman kepada pengembangan dan aplikasi disiplin ilmunya. Salah satu alternatif memenuhi tuntutan tersebut adalah dengan dukungan seperangkat kurikulum, maka dirumuskanlah Mata Kuliah Wawasan Budaya Maritim (WSBM) pada tingkat universitas dan beberapa mata kuliah yang relevan ditingkat fakultas atau program studi.




BAB 2
BENUA MARITIM INDONESIA (BMI)

Benua Maritim Indonesia (BMI) adalah wilayah perairan dengan hamparan pulau – pulau didalamnya, sebagai satu kesatuan alamiah antara darat, laut dan udara di atasnya tertata unik dengan sudut pandang iklim dan cuaca keadaan airnya, tatanan kerak bumi, keragaman biota serta tatanan sosial budaya.
Dalam era globalisasi, perhatian bangsa Indonesia terhadap fungsi, peranan dan potensi wilayah laut semakin berkembang. Kecenderungan ini di pengaruhi oleh perkembangan pembangunan yang mengakibatkan semakin terbatasnya potensi sumber daya nasional di darat. Pengaruh lainnya adalah perkembangan teknologi maritim sendiri sangat pesat sehingga memberikan kemudahan dalam pemanfaatan dan pengelolahan sumberdaya laut.

A.    Karakteristik BMI
BMI terbentang dari 92° BT sampai 141° BT dan 720° LU sampai dengan 14° LS yang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari:
a. 5.707 pulau yang telah bernama dan 11.801 pulau yang belum bernama.
b. Luas perairan 3,1 juta km2, dan luas perairan ZEE 2,7 juta km2.
c. Panjang seluruh garis pantai 80.791 km, panjang garis dasar 14.698 km.

B.     Batas – batas yuridis wilayah laut
a. Perairan pedalaman merupakan bagian dari wilayah perairan nusantara, pada wilayah ini Indonesia memiliki kedaulatan mutlak dan kapal – kapal asing tidak mempunyai hak lintas.
b. Perairan Nusantara, merupakan laut yang terletak di antara pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis pangkal tanpa memperhatikan kedalaman dan lebar laut tersebut.
c. Laut Territorial, adalah wilayah perairan di luar perairan nusantara yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut di ukur dari garis pangkal.

d. Zona tambahan, adalah wilayah laut yang diukur dari 12 mil dari laut territorial atau 24 mil dari pangkal pantai. Pada batas ini, Indonesia hanya bisa melaksanakan hak – hak tertentu saja.
e. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut territorial, lebar zona ini 200 mil dari garis pangkal. Di perairan ini, Indonesia memiliki hak daulat atas eksploitasi.
f. Landas Kontinen, adalah batas laut yang lebih dari 200 mil dari pangkal dengan ketentuan: 1). Lebar tidak lebih 350 mil dari pangkal, tidak melebihi 100 mil di ukur dari garis kedalaman 2.500 m.
g. Laut lepas.

C.    Batas wilayah udara
a. Teori udara bebas ( Air Freedom Theory)
Teori ini terbagi atas dua:
·         Kebebasan ruang udara tanpa batas, ruang udara dapat di gunakan siapapun
·         Kebebasan udara terbatas:1) negara bawah yang berhak mengambil tindakan tertentu dalam memelihara keamanan. 2) negara bawah hanya mempunyai hak terhadap wilayah udara zona territorial tertentu.
b. Teori Negara berdaulat di udara ( The Air Souvereignty Theory)















BAB 3
POTENSI DAN SUMBER DAYA KEMARITIMAN


A.    Letak geografis Indonesia
Posisi Indonesia berada pada daerah tropis tepatnya dalam posisi silang antara dua buah benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia selain itu juga di apit oleh dua buah samudra, yaitu samudra Pasifik dan samudra Hindia. Indonesia sering kita sebut Nusantara, kata nusantara berasal dari kata nusa berarti pulau dan kata antara yang berarti di apit dua laut atau dua benua.


B.     Luas wilayah dan jumlah pulau
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, luas wilayah Indonesia yang ditambah dengan jalur laut 12 mil yaitu 5,8 juta km2 terdiri dari daratan 1,9 juta km2, laut 3,1 juta km2.
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Canada dengan panjang garis pantai 95.181 km. Wilayah Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dari jumlah tersebut baru 6.000 pulau yang mempunyai nama. Dari luas tersebut, Indonesia memiliki 13 pulau atau sekitar 97% pulau – pulau besar, seperti Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Sumatra, Jawa, Madura, Halmahera, Seram, Sumbawa, Flores, Bali dan Lombok.


C.    Potensi Kemaritiman Indonesia
Ø  Sumber daya dapat di pulihkan ( renewable resources)
1)  Potensi daya perikanan laut
Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumber daya perikanan palagis besar ( 451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil ( 2.423.000 ton/ tahun), sumberdaya perikanan 3.163.630 ton/ tahun, udang 100.720 ton/tahun, ikan karang 80.082 ton/tahun dan cumi – cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari ikan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengantingkat pemanfaatan mencapai 48% ( Dirjen Perikanan 1995).

2)  Hutan Mangrove
Merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Fungsi dan peran hutan Mangrove, yaitu: a) menyusun mekanisme antara komponen mangrove dengan ekosistem lain, pelindung pantai, dan pengendali banjir. b) penyerap bahan pencemar, sumber energi bagi biota laut. C) menjaga kesetabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati di perairan. d) sebagai sumber kayu kelas satu, bahan kertas dan arang.
3)  Padang Lamun dan rumput Laut
Padang lamun mempunyai fungsi: a) meredam ombak dan melindungi pantai. b) daerah asuhan larva. c) tempat makan. d) rumah tempat tinggal biota laut. e) wisata bahari.
4) Terumbu Karang
Peran terumbu Karang, yaitu: a) pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. b) sebagai habitat tempat mencari makanan.

Ø  Sumber daya yang tidak dapat di pulihkan (unrenewable resources)
1)  Bahan tambang dan mineral
Bahan tambang dan mineral yang terdapat di laut Indonesia yaitu: bahan bangunan, pasir besi, batu apung, mineral radio aktif, garam, titanium, lempung koalim, emas, dan kromium.
2)   Minyak dan gas bumi
Ø  Jasa – jasa lingkungan
1) Media transportasi dan komunikasi
2) Pengaturan iklim
3) Keindahan alam
4) Penyebaran limbah
5) Wisata bahari




BAB 4
FAKTA SOSIAL DEMOGRAFI KEMARITIMAN
A.    Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir
Besarnya potensi kelautan tersebut ternyata tidak diikuti oleh kesejahteraan masyarakat nelayan. Hal ini terlihat dimana kondisi sosial ekonomi nelayan kita sangat jauh berbeda dengan potensi sumberdaya alamnya. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya sumbangan sektor kelautan selama Pelita VI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional yaitu 12,1% dengan laju pertumbuhan 3,8% jauh di bawah laju pertumbuhan rata-rata seluruh sektor sebesar 7,4%  (Waspada, 18 Maret 2000).
Nelayan adalah suatu fenomena sosial yang sampai saat ini masih merupakan tema yang sangat menarik untuk didiskusikan. Membicarakan nelayan hampir pasti isu yang selalu muncul adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik. Kemiskinan yang selalu menjadi “trade mark” bagi nelayan dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah,  rentannya mereka terhadap perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa yang datang.
Hasil penelitian Mubyarto dkk (1984) menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di daerah Jepara sebagian berasal dari golongan sedang, miskin, dan miskin sekali. Data dari Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara juga menunjukkan bahwa hampir 50% penduduk Desa Pantai Sumatera Utara  berpendapatan 25 – 149 ribu rupiah perbulan (BPS, 1989). Rata-rata pendapatan perkapita nelayan tersebut tidak lebih 15 ribu/bulan. Padahal pendapatan perkapita penduduk Sumatera Utara rata-rata 37.267 rupiah/ bulan (BPS, 1989). Beberapa tulisan mengenai nelayan yang menggambarkan tentang kemiskinan/ kondisi ekonomi nelayan seperti berikut ini. Tulisan Mubyarto (1984) misalnya, menganalisis perekonomian masyarakat nelayan miskin di Jepara. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak, miskin dan miskin sekali di satu pihak.  Penelitian ini menunjukkan adanya dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya terhadap nelayan miskin.  Hampir sama dengan penelitian di atas selanjutnya Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan nelayan di Kepulauan Riau.
Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang menekan nelayan miskin. Hampir sama dengan asumsi yang dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh struktur, Resusun (1985) juga menemukan data bahwa nelayan di Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok nelayan yang hidupnya tidak berkecukupan, yaitu nelayan yang tidak punya modal (nelayan kecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh nelayan yang punya modal (punggawa) dan pedagang (pa’bilolo) yaitu  sawi bagang atau Pa’bagang  atau pembantu utama punggawa dalam menangani kegiatan operasi penangkapan ikan.  Penelitian yang dilakukan oleh Resusun di atas juga menunjukkan adanya struktur hubungan sosial yang khas pada masyarakat nelayan. Hubungan itu adalah adanya ketidak seimbangan antara yang mempunyai modal usaha dan para pekerjanya.  Hubungan itu adalah antara  punggawasawi/pa’bagang  yang bersifat timbal balik (reprocity). Walaupun sawi perlu sang  punggawa sebagai sumber lapangan kerja, punggawa juga memerlukan tenaga sawi. Seorang  punggawa akan berusaha supaya  sawi yang dipercayai menetap diusahanya. Akibatnya terjadi hubungan yang selalu merugikan  sawi. Karena seringkali kerelaan  punggawa untuk meminjamkan uang kepada  sawi berdasarkan motivasi agar  sawi tetap berada di lingkaran setan. Hutang yang tidak bisa dilunasi seringkali harus dibalas dengan jasa yang sangat berlebihan.
Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Rizal (1985) di Desa Bari, Kabupaten Bulukumba menyebutkan bahwa seorang istri  sawi mengerjakan apa saja di rumah isteri  punggawa untuk membalas jasa punggwa membantu suaminya. Sejalan dengan hal di atas di Propinsi Sumatera Utara hasil penelitian-penelitian mengenai nelayan cenderung juga menunjukkan kondisi yang sama yaitu nelayan hidup dalam kemiskinan.  Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa Bagan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, yang menyebutkan akibat struktur patron dan klien antara pemborong dan nelayan, maka nelayan Desa Bagan Deli menjadi miskin. Harahap (1992,1993,1994,) telah melakukan serangkaian penelitian yang berkaitan dengan kemiskinan nelayan di tigadesa di Pantai Timur Sumatera Utara. 


BAB 5
SEJARAH KEMARITIMAN INDONESIA

A.    Fakta Sejarah Kemaritiman Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Dunia. Negeri ini memiliki bentang Laut wilayah 70% dibanding dengan luas daratan yang hanya 30%. Sejatinya, Bangsa Indonesia adalah masyarakat bahari. Sebelum penjajahan Belanda, Indonesia terkotak-kotak kedalam kerajaan-kerajaan kecil. Di antara sekian banyak kerajaan kecil itu, terdapat kerajaan besar berbasis Maritim di Tanah air yang mampu untuk menyatukannya yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Kerajaan ini menurut berbagai pakar sejarah cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia merupakan negara kepulauan, antara pulau yang satu dengan pulau yang lainnya dipisahkan oleh laut, tapi dalam hal ini laut bukan menjadi penghalang bagi tiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman bahari, pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajah untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Madagaskar. Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasannya Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia.
Fakta sejarah lain yang menandakan bahwa Bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa Maritim dan tidak bisa dipungkiri, yakni dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah dibeberapa belahan pulau. Penemuan situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan bahwa nenek mo
yang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut, selain itu ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain yang tentunya menggunakan kapal-kapal yang laik layar.
B.     Kejayaan Kerajaan Maritim Nusantara
Sejarah mencatat bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Dengan alat navigasi seadanya, mereka telah mamapu berlayar ke utara, lalu ke barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar dan berlanjut ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Memasuki masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Nusantara adalah negara besar yang disegani di kawasan Asia, maupun di seluruh dunia. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya.
Tidak hanya itu, Ketangguhan maritim kita juga ditunjukkan oleh Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.
Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China.
Kilasan sejarah itu tentunya memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain karena, paradigma masyarakatnya yang mampu menciptakan visi Maritim sebagai bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial.






BAB 6
KONSEP DASAR SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA
A.    Pengertian Sistem
Sistem berasal dari bahasa Latin dan Yunani, istilah "sistem" diartikan sebagai mengabungkan, untuk mendirikan, untuk menempatkan bersama.Sistem adalah kumpulan elemen berhubungan yang merupakan suatu kesatuan.Sistem adalah Suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran tertentu.
B.     Pengertian Sosial Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
C.    Pokok-pokok Bahasan Dalam Sistem Sosial
Ø  Interaksi Sosial
Manusia dalam hidup bermasyarakat, akan saling berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi sosial.
Macam - Macam Interaksi Sosial
Menurut Maryati dan Suryawati (2003) interaksi sosial dibagi menjadi tiga macam, yaitu (p. 23) :
1. Interaksi antara individu dan individu
2. Interaksi antara individu dan kelompok                  
3. Interaksi sosial antara kelompok dan kelompok
Ø  Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah perbedaan individu atau kelompok dalam masyarakat yang menempatkan seseorang pada kelas-kelas sosial sosial yang berbeda-beda secara hierarki dan memberikan hak serta kewajiban yang berbeda-beda pula antara individu pada suatu lapisan sosial lainnya. Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat.
Stratifikasi sosial yang diperoleh secara alami yaitu:
1. stratifikasi sosial berdasakan usia
2. stratifikasi sosial karena senioritas
3. stratifikasi sosial berdasarkan jenis kelamin
4. stratifikasi sosial berdasarkan sistem kekerabatan
5. stratifikasi sosial berdasarkan keanggotaan dalam kelompok tertentu
Ø  Lembaga Sosial
Menurut Hoarton dan Hunt, lembaga social (institutation) bukanlah sebuah bangunan, bukan kumpulan dari sekelompok orang, dan bukan sebuah organisasi. Lembaga (institutations) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Dengan kata lain Lembaga adalah proses yang terstruktur (tersusun} untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.


BAB 7
MASYARAKAT MARIRIM

A.    Pengertian Masyarakat Pesisir
Ø  Pengertian Masyarakat
Menurut PETER L. BERGER, masyarakat adalah suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan.
Menurut HAROLD J. LASKI Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Jadi dapat di simpulkan bahwa Masyarakat adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi dan berhubungan serta memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang kuat untuk mencapai tujuan dalam hidupnya.
Ø  Pengertian Pesisir
Menurut (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001), Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria, 2004).
Secara teoritis, masyarakat pesisir didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.
B.     Karakteristik Masyarakat Pesisir
Ø  Penduduk dan Mata Pencaharian
Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based). Tetapi, penduduk di Desa Margacinta Kecamatan Cijulang pada tahun 2013 berpenduduk ± 3.168 jiwa, sekitar 50 % merupakan nelayan sedangkan sisanya terdiri dari pedagang dan petani.
Ø  Pola pemukiman dan kehidupan Sehari-hari
Berdasarkan kondisi fisiknya, rumah di pesisir dibagi dalam tiga kategori.
1.      Rumah permanen (memenuhi syarat kesehatan)
2.      Rumah semi permanen (cukup memenuhi syarat kesehatan)
3.      Rumah non permanen (kurang atau tidak memenuhi syarat kesehatan)
Ø  Sistem Kekerabatan
Hubungan-hubungan sosial antar kerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup kuat. Perbedaan status sosial ekonomi yang mencolok antar kerabat tidak dapat menjadi penghalang terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara mereka.
Ø  Ekonomi Lokal
Sumber daya laut adalah potensi utama yang mengerakan kegiatan perekonomian desa. Secara umum kegiatan perekonomian tinggi-rendahnya produktivitas perikanan. Jika produktivitas tinggi, tingkat penghasilan nelayan akan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang semakin besar nelayan juga akan meningkat. Sebaliknya, jika produktivitas rendah, tingkat penghasilannya nelayan akan menurun sehingga tingkat daya beli masyarakat rendah. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kuat lemahnya kegiatan perekonomian desa.










BAB 8
KEBUDAYAAN MARITIM

Menurut Boeke (1983), desa tradisional merupakan sebuah rumah tangga yang secara ekonomi “berdaulat”, “mandiri”. Desa tradisional juga merupakan sebuah “unit produksi” bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif kalangan kelas menengah dan atas (penguasa, bangsawan, pemilik tanah/modal, dll), sementara bagi kalangan bawah, hal itu tidak lain merupakan “kewajiban sosial dan ekonomis” mereka atas perlindungan dan pimpinan yang diberikan oleh kalangan menengah dan atas dan ini berarti pula sebagai bentuk pengabdian kepada penguasa alam yang Maha Kuasa. Desa tradisional merupakan manifestasi sederhana dari ‘perkampungan nelayan’ yang sebagian besar menunjukkan bahwa taraf hidup masyarakat memang belum banyak beranjak dari ciri serta karakteristik dari desa tradisional.
Sebuah perkampungan nelayan merupakan bentuk desa sederhana dimana masyarakat yang tinggal di dalamnya masih terikat dengan norma-norma kebudayaan yang kuat. Norma tersebut terbentuk baik secara alamiah maupun diperkuat dengan aturan dan bentuk perundangan sederhana yang membuat masyarakat tetap tunduk dibawahnya.
Pendek kata, setiap aktivitas ekonomi mereka senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional. Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar “prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit oriented). Landasan struktur ekonomi desa tradisional diletakkan pada prinsip” hemat, ingat, dan istirahat (Boeke, 1983: 22).
Sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang menggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat mengandalkan pada mata pencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali yang memiliki mata pencaharian tetap. Selain itu, para nelayan dan beberapa pelaku ekonomi setempat (juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola dan mengembangkan aktivitas perekonomi-an mereka secara “swasembada”, yaitu bertumpu pada pemberdayaan potensi daerah dan modal yang terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi desa.
Sebagai daerah pemukiman cukup padat, upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya, tampaknya dapat dipenuhi sendiri dari berbagai fasilitas warung atau pertokoan yang ada di desanya; kecuali sebagian kebutuhan sandang dan papan yang tidak terdapat di desanya atau terdapat kekurangan, mereka membeli di kota-kota terdekat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aktivitas nelayan sebagai aktivitas ekonomi utama masyarakat desa pesisiran tradisional di desa nelayan seperti halnya aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya, tumbuh dan berkembang secara timbal-balik dengan aspek-aspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Aktivitas nelayan meliputi banyak aspek antara lain sistem penangkapan ikan yang digunakan, organisasi dan pola kerjasama antar-nelayan, hubungan-hubungan ekonomi dalam praktik perdagangan ikan di antara nelayan-bakul-tengkulak ikan, maupun keterlibatan para pelaku ekonomi lokal dalam pengembangan struktur ekonomi di tingkat lokal.
Karakteristik terpenting dari masyarakat desa nelayan tradisional memungkinkan struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau secara “berswasembada”. Berbagai bentuk dan pola perilaku ekonomi masyarakat nelayan tradisional desa Bandaran di atas, tidak lain sebagai upaya (ikhtiar) mereka untuk senantiasa dapat mempertahankan hidup sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial, budaya, sekaligus ekonomi yang senantiasa berubah ke arah yang lebih “modern” dan “praktis”, tetapi tetap bergerak dalam kerangka sebuah tradisi.





BAB 9
PEMBANGUNAN BENUA MARITIM

A.    Pembangunan Maritim
Pada dasarnya wilayah negara kesatuan Republik Indonesia jika ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi geografi sampai dengan social budaya serta ekonomi, maka layak diebut sebuah benua. Dan karena di dalamnya terdapat massa air yang mencapai lebih dari tiga perempat luas wilayah RI, maka sebutan yang cocok untuk Indonesia adalah benua maritime Inonesia, atau disingkat BMI.
Pembangunan Benua Maritim Indonesia memandang daratan, lautan dan dirgantara, serta segala sumberdaya di dalamnya dalam suatu konsep pengembangan sehingga hal ini merupakan salah satu wujud aktualisasi Wawasan Nusantara yang telah menjadi cara pandang bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar 1945
Pemikiran pembangunan Maritim Indonesia dilandasi oleh kenyataan bahwa:
1)   Lautan merupakan bagian terbesar wilayah RI dan merupakan factor utama yang harus dikelola  dengan baik guna mewujudkan cita – cita nasional
2)   Pengelolaan aktivitas pembangunan laut harus bersifat integral
Dalam menyusun rencana dalam melaksanakan pembangunan maritime kita menghadapai empat kendala utama, berikut :
1)   Mental attitude dan semangat cinta bahari masih lemah
2)   Techno structure dan struktur nasional ekonomi maritime belum siap
3)   Peraturan dan perundangan belum mendukung
4)   Kelembagaan yang juga belum mendukung

B.     Keadaan dan Masalah Maritim Indonesia
Pembanguunan maritime memerlukan system pengelolaan terpadu, yaitu sistem Pengelolaan terpadu wilayah Pesisir dan Lautan. Dalam pengelolaan ini berbagai maslaah akan muncul, berbagai konflik akan terjadi yang disebabkan oleh adanya degradasi mutu dan fungsi lingkungan hidup yang antara lain disebabkan karena musnahnya hutan bakau, rusaknya terumbu karang, abrsi pantai, intrusi air laut, pencemaran lingkungan pesisir dan laut serta perubahan iklim global. Berbagai masalah tersebut berakar dari :
1)   Masing – masing pelaku pembangunan dalam menyusun perencanaanya sangat terikat pada sektornya sendiri tanpa adanya sistem koordinasi baku lintas sektor.
2)   Belum adanya lembaga yang berwenang penuh baik di pusat maupun di daerah yang memepunyai wewenang penentu dalam pembangunan maritim secara utuh.
3)   Belum lengkapnya peraturan perundang – undangan yang mengatur kewenangan pengelolaan sumberdaya maritim.
4)   Belum lengkapnya tata ruang yang mencakup wilayah pesisir laut dan laut nasional yang dapat dijadikan sebagai induk perencanaan bagi daerah.

C.    Pembangunan Maritim Indonesia Jangka Panjang
Tujuan pembangunan Maritim Indonesia pada hakekeatnya adalah bagian integral dari tujuan pembangunan nasional dengan lebiih memanfaatkan unsur maritime. Sedangkan sasaran pembngunan Maritim Indonesia adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang mandiri serta mamapu mentransformasikan potensi maritim menjadi kekuatan maritim nasional melalui serangkaian pembangunan nasional yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
Dalam PJP II Pembangunan Maritim Indoneisa dilakukan secara bertahap, dengan waktu yang masih tersisa 4 pelita (20 tahun) pertahapannya dilakukan sebagai berikut :
1)      Pelita VII penekanan dilakukan pada perikanan dan pariwisata bahari dengan tanpa mengesampingkan pengembangan sumberdaya manusia dan iptek maritim yang sesuai,
2)      Pelita VIII penekanan diletakkan pada perikanan, perhubungan laut dan pariwisata bahari sering dengan pengembangan Iptek dan SDM yang diperlukan.
3)      Pelita IX penekanannya diletakkan pada perhubungan laut, pariwisata bahari seiring dengan peningkatan iptek dan SDM
4)      Pelita X penekanan diletakkan pada pertambangan dan energy seiring dengan pengembangan SDM dan iptek yang diperlukan

0 komentar:

Profil Photo

Profil Photo

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.